Pemuda Lentera Bangsa
Karakteristik seorang pemuda adalah semangatnya yang berapi-api. Berbeda dengan kaum-kaum muda lanjut usia, hanya mudah berkata dan jarang berbuat. Kenangan ini seperti dejavu ditahun kemerdekaan lalu, saat seorang proklamator muda menyuarakan gejolak hati kepada segenap kaum muda di zaman itu. Sebuah kalimat yang meruntuhkan kelemahan hati dan mendongkrak semangat juang kaum muda. “Berikan saya 10 orang pemuda, maka akan aku guncangkan dunia”. Itulah kiranya pekik semangat dari presiden RI yang pertama.
Sebuah logika yang kali ini banyak dilupakan oleh sebagian masyarakat dan bangsa ini. Bahwa sekitar 68 tahun yang lalu kita pernah bergembira ditanah kita tercinta ini. Bergembira karena hasil perjuangan yang begitu lama itu membuhkan hasil yang manis. Pekikan suka cita mengalir penuh gelora di seantero mayapada. Tak kurang dari 300 tahun sudah kakek buyut kita menderita dibawah keserakahan negara lain. Kemiskinan, kelaparan, kebodohan, pernah menjadi hal yang wajar di negara ini. Bukan hanya satu atau dua daerah, tetapi seluruh manusia yang pernah mendiami gugusan pulau ini juga ikut merasakannya. Tetapi perjuangan telah dibayar lunas oleh sang Maha Kuasa, Indonesia Merdeka. Itulah logika yang harus kita pahami bersama.
Mari kembali dari alam kenangan dan angan-angan masa lalu. Lihatlah indahnya kepulauan yang Indonesia miliki. Membentang luas dari ufuk timur hingga barat. Dikelilingi birunya lautan tanpa batas. Tanahnya yang subur bagai cerita dongeng 1001 malam. Sungguh manusia mana yang rela anugrah sang pencipta ini direbut oleh pihak-pihak lain. Sejenak renungkanlah dari hari ke hari, bulan ke bulan, dan tahun ke tahun, dari mulai berdirinya negara ini. Apakah ada perkembangan yang signifikan terhadap negara ini? Jika ditanya, pasti jawabannya adalah “Ya, ada”. Jika diminta untuk menyebutkan, pasti harus berpikir dulu sejenak sebelum menjawabnya. Apasih yang patut Indonesia banggakan lebih dari setengah abad ini?
Mencoba melihat negara tetangga yang hampir sama nasibnya dengan negara ini. Bedanya hanya negara kita yang lebih dulu merasakannya. Dijajah hingga ratusan tahun, menjadi kenangan menakutkan dari bangsa ini. Mengulik masa lalu negara tetangga, dengan bebagai peristiwa yang masih meninggalkan sisa duka cukup dalam. Ditaburi dengan sejuta kenangan-kenangan indah yang pernah diraih. Menjajah dan menginvasi negara lain pernah dijalani negara itu. Tetapi pada akhirnya negara yang kini menjadi salah satu tegara termaju didunia karena teknologinya ini, luluh lantak 68 tahun lalu. Tak ada harapan bunga sakura untuk tumbuh kembali, begitu juga dengan wilayah yang tinggal puing-puing berserakan. Hampir sama nasibnya dengan Indonesia 68 tahun lalu yang mulai merangkak-berdiri lepas dari belenggu penjajah. Begitu pula dengan Jepang, harus memulainya lagi dari awal. Membangun infrastruktur dan pemerintahan baru yang memakan waktu sangat lama. Beruntung Indonesia masih mempunyai infrastruktur lebih baik dari Jepang waktu itu.
Mencoba membandingkan lagi kedua negara yang sama-sama memiliki keinginan membangun imperium baru paska kehancuran masa lalu. 68 tahun apakah akan menjadi waktu yang lama atau waktu singkat untuk sebuah negara memulai bangkit dari keterpurukan? Tinggal secerdik-cerdiknya memanfaatkan waktu dan kondisi yang diberikan Tuhan kepada umat manusia. Siapa yang bersungguh-sungguh dialah yang akan berhasil. Begitulah kiranya pepatah mengatakannya. Alhasil sudah dapat dilihat dan dibuktikan sendiri, siapa yang lebih berkilau di masa ini. Padahal kita tahu masing-masing negara ini memiliki kekurangan yang sama di masa lalu. Mulai bergerak merangkak diwaktu yang bersamamaan. Sama-sama mempunyai semangat dan cita-cita untuk kebahagiaan masa depan. Tetapi mengapa hasilnya berbeda antara ke-2 negara ini?
Semangat untuk bangkit, itu yang menjadi modal utama. Kedua negara ini juga sudah mempunyai semangat itu. Lalu apalagi yang membedakannya? Setelah ditelisik ternyata ada hal lain yang menyebabkan terjadinya perbedaan. Budaya masing-masing negara-lah yang kiranya menjadi factor pembedanya. Produk budaya ternyata masih mempunyai peran mengikat pergerakan tiap individu suatu bangsa. Tentu saja kedua negara ini mempunyai budaya yang berbeda-beda. Contoh konkritnya adalah kita tahu bahwa Jepang memiliki semangat Harakiri yang tidak dimiliki oleh bangsa Indonesia. Harakiri merupakan rasa dimana harga diri lebih tinggi dari apapun. Bahkan ada yang berani mengakhiri hidupnya daripada harga dirinya diinjak-injak orang lain. Itulah yang harus dimiliki oleh bangsa ini. Tetapi awas bukan usaha bunuh dirinya yang ditirukan, tetapi rasa malu akan harga dirinya apalagi menyangkut harga diri bangsa yang harus kita tiru.
Walaupun Negara ini sudah merdeka terlepas dari belenggu kapitalisme negara lain, tetapi apadaya yang dapat Indonesia lakukan untuk menghentikan eksploitasi dari negara-negara lain. Dibidang pertambangan contohnya, Indonesia masih merelakan jengkal demi jengkal tanahnya digerogoti untuk diambil sumber dayanya. Emas ribuan ton yang berasal dari perut bumi Indonesia diambil tiap harinya untuk menjadi penyumpal nafsu para kapitalis. Entah berapa persen yang masuk ke kas negara, saya rasa hanya beberapa persen saja. Padahal itu sangat menjajikan kebahagiaan untuk segenap masyarakat Indonesia jika dapat dikelola sendiri. Tetapi apadaya bangsa ini melihat ironi seperti itu.
Bukan tentang pemerintahan atau jabatan yang sedang dijalankan. Tetapi tentang sifat masing-masing individunya. Manusia yang hidup dan tinggal di negeri ini apakah menginginkan kebahagiaan bersama atau ketamakan pada dirinya. Itulah masalah yang sedang dihadapi bangsa ini tiap tahunnya. Bergantinya roda pemerintahan, seharusnya menjadikan poin evaluasi yang berarti untuk kepengurusan berikutnya. Tetapi lagi-lagi hanya ada ajang unjuk gigi yang dipamerkan para “peserta lomba” untuk sekedar merebutkan kursi. Rasa malu tentu sudah dibuang jauh-jauh demi merebut sebuah jabatan. Bahkan harga dirinya sudah dijual kepada orang-orang yang siap mengusung demi kesuksesan sebuah golongan. Memang analogi Jepang-Indonesia tetap tidak dapat disamakan untuk hal-hal seperti ini.
Kembali lagi kepada rasa nasionalisme dan cinta tanah air yang disampaikan oleh Ir. Soekarno kepada segenap pemuda Indonesia. Pemuda itulah harapan bangsa Indonesia untuk jaminan kebahagiaan masa mendatang. Mengapa harus pemuda? Pepatah pernah mengatakan, bahwa “Disetiap perubahan pemudalah yang selalu berada dibelakangnya”. Coba kita putar ulang waktu ini dan kembali kemasa-masa Negara Indonesia akan dilahirkan. Satu peristiwa penting berawal dari sekelompok mahasiswa yang mempunyai cita-cita berdirinya bangsa ini, pada akhirnya lahirnya deklarasi “Sumpah Pemuda”. Sumpah Pemuda menjadi sebuah embrio awal dimana cikal bakal negara ini akan dilahirkan. Selain itu para pemuda yang menyebabkan terjadinya peristiwa “Rengasdengklok”. Peristiwa dimana puncak perjuangan kemerdekaan sedang diuji yang diawali perdebatan antara golongan pemuda dengan golongan tua. Pada akhirnya Indonesia ini dilahirkan pada pagi harinya pada tanggal 17 Agustus 1945.
Para pemudalah yang sekarang menjadi harapan bangsa. Bukan tentang kepandaiannya bersilat lidah, mengobral janji-janji yang entah dapat direalisasikan atau tidak. Bukan juga tetang fisik mereka yang kuat sehingga dengan mudah menghancurkan lawan-lawan yang tidak disukai. Tetapi pemuda bersih yang sedang dinanti-nanti bangsa ini. Meluruskan kembali perjalanan pemerintahan yang kian hari kian gelap tanpa adanya lentera penerang. Bukan sekedar modal semangat saja yang dibutuhkan. Tetapi butuh mental dan iman yang kuokoh agar segala tindakan dapat bijak dilakukan.
Lentera penerang gulita yang sekarang dibutuhkan oleh bangsa ini. Menerangi disetiap sudut kegelapan tatanan sosial. Menuntun kembali segenap tumpah darah dalam jalan kebahagiaan. Semangat dan cita-cita yang hampir dilupakan akan muncul kembali seiring dengan bergantinya perubahan. Pemuda itulah yang menjadi lentera penerang. Penerang bagi kehidupan pribadi dan untuk kesejahteraan negeri. Semangat berapi-api untuk membangun negeri itulah yang sedang dinanti-nanti. Tak ada alasan untuk sakit-sakitan, tak ada pula alasan untuk melepaskan kewajiban. Pemuda harus cakap fisik dan rohaninya untuk menyongsong perubahan masa depan.
Mencari pemimpin bukan seperti halnya membalikan telapak tangan. Membutuhkan seleksi yang ketat dan berliku-liku. Semua orang dari berbagai kalangan ingin mencalonkan sebagai pemimpin. Kriterialah yang menjadi landasan untuk memilih pemimpin dengan bijak. “Seorang pemimpin itu harus yang muda-muda”, kata Pak Habibie. Memang seharusnya demikian. Lalu siapa saja yang dianggap pemuda? Beliau menambahkan “Antara usia 45 sampai 60 tahun itulah yang cocok memimpin negeri ini”. Harapannya demikian, bahwa orang-orang mudalah yang akan memimpin negeri ini. Tinggal seberapa perhatiannya masyarakat Indonesia untuk memilih “Lentera Bangsa”.
Posting Komentar untuk "Pemuda Lentera Bangsa"