Cerita Pendakian Gunung Lawu - Antara Dia & Edelweis Puncak Lawu
Alam menyediakan berbagai keindahan untuk umat manusia. Semuanya disediakan sesempurna mungkin untuk memenuhi hasrat hidup manusia. Hasrat untuk selalu mencari kepuasan dimana kedua mata ini lelah memandang. Panorama yang terbias indah dikedua retina manusia mampu membius syaraf ketenangan dalam pusat akal manusia. Mungkin hanya haru yang mampu mewakili rasa pengagungan atas karya sang Maha Kuasa.
Memulai setapak demi-setapak menyusuri ribuan pohon menjulang angkasa. Ketinggian pohonnya memang tak terbantahkan lagi, gumpalan awan saja mampu digapainya. Begitu rindang dan lebat hingga cahaya matahari sulit menembusnya. Kicauan burung jalak hutan turut menyertai langkah yang berat ini. Sekali duakali mereka turun didepan mata untuk memperlihatkan keelokan bulunya, walau dimata ini warna bulunya biasa-biasa saja. Konon katanya burung ini menjadi petunjuk jalan para pendaki yang ingin menjajaki gunung ini, apabila burung ini diusir maka orang yang mengusirnya akan tersesat.
Rasanya tak seperti biasa diri ini menjajaki sebuah gunung. Begitu berat dan bertenaga, berbeda dengan kedua gunung yang telah dijajaki. Nafas yang ngos-ngosan karena menghirup udara yang sangat dingin dan berair menjadi pengaruh utama kerja jantung. Bila penutup hidung dilepas maka banyak uap air yang masuk kedalam paru-paru dibanding dengan oksigennya. Akhirnya uap air yang menumpuk didalam rongga paru-paru akan menghambat proses difusi oksigen kedalam aliran darah. Alhasil jantung akan lebih cepat memompa darah agar oksigen lebih cepat didistribusikan keseluruh jaringan tubuh. Begitulah kiranya seperti meteri perkuliahan yang pernah disampaikan oleh dosen.
Dingin hingga menusuk tulang yang dirasakan ketika memulai langkah pertama meninggalkan gerbang masuk. Walaupun sudah memakai pakaian hangat tetap saja masih terasa dinginnya. Kami memulai perjalanan dengan berdo’a kepada sang Maha Pencipta seluruh alam agar diberi keselamatan hingga akhir tujuan. Selangkah memulai untuk memulai perjuangan yang panjang dan melelahkan. Walaupun jarak membentang ribuan langkah, perlu satu langkah untuk mulai menempuhnya.
Kami meninggalkan basecamp dimana langkah pertama dipijakkan. Kedua mata mulai memandangi panorama sekitar. Hanya gelap dan sunyi didalamnya, pantas saja karena pukul 22.00 baru memulai perjalanan. Dibalik sayup-sayup cahaya senter terlihat ribuan pohon cemara menjulang hingga menutupi separoh kaki langit. Memang pantas bila jalur ini diberi nama “cemoro sewu”. Sekitar 45 menit berikutnya, dengan menanggung kelelahan kami sampai di pos pertama.
Pos pertama kami lalui dengan sedikit mengeluh, karena masih jauhnya perjalanan yang harus ditempuh. Banyak-banyak beristirahat yang harus dilakukan demi menjaga homeostasis dalam tubuh. Lelah luar biasa yang menjadi tantangan para pendaki pemula seperti ini. Trek menuju puncak kelihatan mudah seperti jalan setapak dengan bebatuan tersusun rapi dan terbuka, tetapi banyak jalan menanjak yang memerlukan tenaga ekstra untuk melewatinya. Baru dua puluh langkah kami beristirahat menenangkan jantung yang berdegub sangat kencang karena tipisnya kadar oksigen. Teringat oleh materi kuliah yang pernah disampaikan dosen, seorang yang tidak terbiasa hidup di gunung akan cepat merasa lelah karena kadar asam didalam darah naik. Tingginya kandungan asam didalam darah dipengaruhi akibat kurangnya asupan oksigen yang masuk dan berdifusi dalam darah. Begitulah kiranya.
Hanya dorongan semngat dari teman-teman yang mampu mengusi rasa lelah dan terus menjutkan perjalan. Sekitar enam puluh menit kemudian pos 2 telah dilalui dan menuju k epos berikutnya. Tujuh puluh menit kemudian pos 3 kami lalui. Sekitar 20 menit perjalanan dari pos 3 kami berhenti dan beristirahat lama dan mendirikan tenda. Tepat pukul 02.18 pagi kami mulai tetidur didalam tenda berempat, walau sebenarnya tendanya hanya muat untuk dua orang. Apa boleh buat kami saling berdesakan untuk menghindari udara sangat dingin diluar tenda. Sekitar 2 jam kemudian kami terbangun. Terdengar sayup-sayup suara kumandang adzan yang bersaut-sautan, pertanda waktu shubuh telah menjelang. Sungguh indah mendengar kalimat-kalimat pengagungan kepada Tuhan Semesta Alam dari ketinggian ini.
Syahdu rasanya ketika mendirikan sholat shubuh berjamaah diketinggian kira-kira 2300 mdpl. Walaupun dingin sampai menusuk tulang tetapi kami mencoba tetap khusyu menjalani ibadah ini. Sebelum memulai perjalan lagi kami terlebih dahulu mengisi perut yang keroncongan dengan bekal seadanya. Mie instan rebus yang menjadi favorit para pendaki kala lapar dan kedinginan. Pukul 7.15 perjalan berlanjut, ternyata sangat indah sekali panorama alam dikala sang surya masih berada di kaki langit timur. Begitu indah alam Indonesia ini ya Tuhan, semoga engkau tetap menjaga selamanya. Hanya kalimat dzikir kepadaNya yang mampu mewakili keindahan alam ciptaanNya.
Pos 4 sudah terlihat papan tulisannya setelah kurang lebih 30 menit pejalanan. Semakin tinggi tempat yang dipijak, semakin sulit oksigen yang dihirup. Harus pandai mengatur napas agar tidak cepat pusing dan mual-mual. Rasa bimbang mulai memenuhi pikiran, apakah akan melanjutkan perjalanan atau berhenti dan turun kebawah. Rasa lelah yang luar biasa menyiksa seluruh otot tubuh, tetapi rasa tidak enak kepada teman sendiri yang ingin kepuncak mampu mengalahkan rasa lelah ini. Kupaksa lagi tubuh ini bekerja lebih keras. Akhirnya 45 menit berlalu, kami sampai di pos terakhir sebelum menuju puncak. Tanpa istirahat kami langsung tancap gas menuju kearah bendera pusaka Indonesia yang menjadi tanda puncak dari gunung ini.
Tak tahu mengapa rasa damai menghinggapi sekujur tubuh ini. Bukan masalah sampai kepuncak gunung atau belum, tetapi sejauh mata memandang terhampar luas bunga yang sangat jarang sekali ditemukan. Oh itu tho yang namanya bunga abadi Edelweis. Baru sadar dari mulai perjalanan tadi sudah banyak bunga seperti ini dipinggir jalur yang kami lalui. Memang beda ketika bunga ini bergerombol menjadi satu, sungguh sedap dipandang mata. Berimbun dan berliuk-liuk tertiup angin gunung. Mengangguk-angguk seperti sedang bersenandung mengagunggkan asma sang Pencipta. Hanya takjub yang dapat dilakukan waktu itu dan satu lagi kalimat dzikir terucap dari bibir ini.
Tiga puluh menit yang melelahkan, dan akhirnya puncak yang dari awal diinginkan kesampaian juga. Hargo Dumilah begitu para pendaki menyebutnya. Merupakan puncak tertinggi dari perjalanan mendaki Gunung Lawu. Langit biru terbentang luas dari ufuk timur hingga barat. Menggantung tumpukan awan putih sepanjang mata memandang. Sungguh susah untuk menggambarkan keindahan alam ciptaan-Nya yang ada di Indonesia. Sayang bila orang-orangya sendiri tidak bisa mensyukurinya.
Posting Komentar untuk "Cerita Pendakian Gunung Lawu - Antara Dia & Edelweis Puncak Lawu"