Perjalanan Pena 09 - Sendu Musim Ketigo
Jendela kaca kosan berderit kecil tersenggol kain gorden yang sedari tadi tertiup angin. Sore ini cuaca cukup cerah, namun angin sepoi-sepoi tidak henti-hentinya bertiup. Bertiup lembut dari arah tenggara menuju utara dengan membawa partikel debu yang sesekali masuk ke mata. Mungkin ini pertanda akan segera memasuki musim kemarau atau orang sini sering menyebutnya musim 'ketigo'.
Sedari tadi mataku terasa pedih dan berair sampai menetes membasahi pipi sampai ke ujung dagu. Bukan karena debu masuk ke mata, tapi karena ada sesuatu hal yang sedang mengganjal antara hati pikiran. Terkadang menusuk sampai ke ke dasar hati, hingga kedua kelopak mata tak mampu menahan air mata. Tak disadari merembes dari sudut ceruk mata dan membasahi kedua pipi.
Bulan ini sungguh terasa berat, banyak tugas-tugas kuliah yang menumpuk tiap hari. Roda organisasi harus tetap berputar sebagaimana mestinya. Praktik dan pengajaran harus selalalu diberikan untuk mahasiswa yang sedang praktikum di laboratorium. Dan bahkan sahabat karib sudah lama tidak saling bersua bahkan berkomunikasi. Semua sibuk dengan kegiatan masing-masing. Bahkan sinar matahari pun jarang menyapa kulit, karena sering pergi pagi pulang petang.
Rasa capek yang menyayat badan bukanlah menjadi beban, tetapi pikiran yang merambang membuat badan menjadi gak karuan. Kepikiran keadaan kedua orang tua yang lama tak jumpa. Yang saat ini beliau sedang berada sejauh 450 km ke arah timur sana. Jauh disana diantara 7 kabupaten dan 1 provinsi.
Aku kepikiran akan perjuangan beliau. Berjuang keras, mungkin sangat keras untuk menghidupi anak-anaknya. Menjamin kehidupan dan pendidikanku dan adik-adikku. Yang terkadang lupa dengan kehidupan sendiri. Bahkan kabar terkahir juga sering kali jatuh sakit, mungking karena kepikiran anak-anaknya dan juga terlalu berat bekerja.Tidak tega jika terlalu lama menjadi beban beliau berdua, orangtua ku.
Waktu itu adalah akhir semester 3. Kurang lebih satu setengah tahun aku merantau di kota ini. Kota dengan makanan mendoan sebagai ikonnya. Satu setengah tahun juga aku berusaha keras untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar. Menyesuaiakan kondisi sosial maupun finansial.
Pernah juga mengambil kerja paruh waktu atau istilah kerennya part time. Kerjanya tidak sekeren isitilahnya. Ternyata kerja part time sangatlah berat. Berat karena fisik terkuras namun hasilnya hanya sisa ampas, dengan kata lain gaji tidak sesuai ekspektasi.
Waktu itu aku masih ingat digaji 20 ribu rupiah untuk 6 jam kerja nonstop dari pukul 4 sore hingga 10 malam. Ya paling istirahatnya untuk sholat dan menunggu pelanggan beli dagangan. Memang, jenis kerja part time ini bukanlah ditempat yang bonafide, ber AC dingin atau berkursi empuk. Tapi . . .
-Bersambung-
Posting Komentar untuk "Perjalanan Pena 09 - Sendu Musim Ketigo"