Perjalanan Pena 10 - Gerobak Gorengan


Tapi . . . ditempat yang mungkin sebagian orang merasa risih dan enggan untuk berlama-lama ini adalah tempat perjuangan bagiku. Memang benar, tempat mencari nafkah ini berada di pinggir jalan raya yang padat lalu-lintas. Tepatnya berada di depan sebuah emperan toko yang sudah tutup kala sore hari. Si owner pemilik outlet gorengan sengaja memilih tempat ini karena cukup strategis untuk menjajakan dagangannya. 

Memang benar saja, baru dibuka beberapa menit lalu outlet gerobak gorengan ini sudah didatangi para pembeli. Entah itu pelanggan setia yang beberapa kali beli, maupun orang lewat yang ingin merasakan gorengan.

Tanganku cukup cekatan untuk melayani pelanggan, karena sudah 1 bualan lamanya bekerja. Aku dapat membuat adonan yang terbuat dari tepung sembari memanaskan minyak di wajan untuk menggoreng adonan. Dengan lihai adonan yang telah dipotong-potong sedemikian rupa dimasukkan kedalam wajan penggorengan yang minyaknya sudah mulai panas. 

Tidak semuanya berjalan lancara ketika melayani pembeli. Terkadang ada pembeli yang minta pesanannya diantarkan hingga ke ujung jalan. Mau gimana lagi karena ini adalah tugas, sampai ke ujung dunia-pun juga disambangi. 

Tak berselang lama setelah ada menyelesaikan pesanan jarak jauh itu datang pembeli yang tidak sabaran.

"Mas bisa buruan gak gorengnya, setengah matang gapapa lah, ini soalnya sudah mau telat". Kata Ibu-Ibu pembeli yang sembari tadi berada disamping gerobak menunggu pesanannya. Didepannya tampak seorang pria berkemeja rapi yang menunggu di dalam mobil sambil melihat-lihat jam tangan. Mungkin itu suaminya.

"Iya Bu, sebentar lagi matang. Kalau setengah matang nanti kurang nikmat. Silahkan duduk dulu Bu sambil menuggu matang". Sahutku sembari membolak-balikkan adonan yang hampir matang.

Ibu itu masih saja berdiri menunggu disamping penggorengan dengan raut muka yang sudah gelisah.

"Duh, begini amat ya pelanggan. Gak tahu apa ini lagi digoreng. Sabar sedikit dong". Gumamku dalam hati kecil sembari menyiapkan plastik untuk membungkus gorengan yang telah matang.

"Ini bu pesanannya sudah siap. Semuanya 30 ribu Bu." Aku sodorkan plastik itu kepada Ibu-Ibu yang sudah gak karuan raut mkanya karena lama menunggu. Ibu tersebut memberikan uang pecahan 100 ribu kepada ku.

"Waduh maaf Bu, ada uang pas tidak. Soalnya baru buka, jadi belum ada kembalian". 

Sambil bergumam, mungkin karena kesal Ibu itu menuju ke arah mobil tanpa basa-basi. Dia menanyakan sesuatu kepada Pria yang ada di dalam mobil. Mungkin menanyakan ada uang pas 30 ribu atau tidak untuk membayar pesanannya.

Dan benar saja, tidak berselang lama Ibu itu kemabli dengan menyodorkan uang pecahan 30 ribu dan mengambil pesanan yang sembari tadi sudah aku pegang. Namun saat mengambil pesanannya, Ibu itu masih saja menunjukkan wajah yang tidak menyenangkan. Mungkin karena masih kesal menunggu terlalu lama.

"Terima kasih Bu sudah membeli gorengan. Jangan lupa untuk membeli lagi nanti". Ucapan sepenuh hati dan sedikit senyum lebar ku arahkan ke wajah Ibu itu. Walapun agak terpaksa tapi tetap aku lakukan. Karena ini bagian SOP pelayanan yang diperintahkan oleh owner dan harus dipatuhi. 

"Pembeli itu ibarat raja yang harus dilayani sepenuh hati. Walaupun judesnya minta ampun, wajib dilayani dengan sepenuh hati. Itu adalah motto kami". Kalimat itu yang selalu bergema di telinga. Aku sebagai karyawan ya sewajarnya mematuhi perintah.

Jam mulai menunjukkan pukul 17.50 waktu setempat. Kumandang adzan magrib terdengar sayup-sayup bersautan dengan suara knalpot kendaraan bermotor yang lalu-lalang. Toko-toko yang buka dari pagi hari sudah mulai menutup pintu terali besinya. Menandakan akan segera tutup. Namun sebalikanya para pedangan sate, nasi Lamongan dan pedagang kali lima ber-tenda biru lainnya baru saja selesai menggelar lapaknya. Mereka menggelar lapak tepat didepan toko yang akan segera tutup.

Para pedagang disini sudah biasa untuk menggunakan toko-toko yang tutup di sore atau malam hari sebagai lapak berjualan mereka. Tentu saja lapak-lapak itu tidaklah gratis. Melainkan harus membayar uang sewa kepada pemilik toko. Uang sewa lapak dapat dibayarkan mingguan, bulanan maupun tahunan, tergantung kesepakan antar keduanya. Begitu juga dengan lapak yang sedang aku tempati untuk berjualan saat ini.

"Mas uang sewa bulan ini belum dibayar ya. Kalau bisa malam ini ya". Tiba-tiba saja ada suara yang mengagetkanku dari belakang. Ternyata itu adalah Ibu-Ibu pemilik toko yang menagih uang sewa dari lapak yang sedang aku gunakan berjualan.

Sambil menoleh kebelakang dan menatap wajah Ibu pemilik toko, terucap kalimat lirih yang sedikit agak khawatir. "Waduh maaf Bu, saat ini saya tidak membawa uang lebih. Nanti coba saya sampaiakan ke bos untuk membayar sewa lapak".   

Dengan agak sedikit tinggi nada bicaranya, Ibu itu membalas permohonan maafku sambil berlalu masuk ke tokonya. "Nanti-nati, udah telat seminggu ini. Kalau tidak bisa bayar silahkan pindah lapak saja".

"Baik-baik Bu". Jawabku sekenanya.

"Duh berat amat ya mencari duit. Banyak hal-hal yang gak terduga". Gumamku dalam hati.

Perut yang sembari tadi berbunyi, belum mealaksanakan sholat magrib ditambah teguran dari Ibu pemilik toko, membuat malam hari ini agak sedikit suram. Akhirnya aku memutuskan untuk rehat sejenak untuk melaksanakan sholat magrib. Untungnya lapak jualan berdekatan dengan mushola kecil yang hanya berjarak sepelemparan batu ke arah belakang masuk ke gang kecil. 

Seperti biasa, sebelum menuju mushola lapak dipasang penanda tutup sementara agar tidak ada pembeli yang bingung. Air wudhu yang membasahi wajah, tangan, kepala dan kaki membuat badan terasa sedikit segar. Sejenak kutundukkan kepala menghadap sang pencipta, pemilik segala urusan manusia. Di sujud rekaat terakhir sengaja diperlama agar dapat memanjatkan do'a-do'a. Masalah-masalah yang barusan terjadi menguap begitu saja. Nyaman dan sejuk. 

Setelah selesai sholat, tak lupa memanajatkan do'a lagi, terutama untuk kedua orang tua agar diberikan kebaikan dunia dan akhirat. Semoga beliau baik dan sehat kondisinya disana. Berharap dengan sungguh-sungguh agar segera bisa membahagiakan keduanya. Minimal tidak lagi menjadi beban keluarga.

"Aamiin Yaa Rabbal 'alamin". Setelah selesai berdoa, aku langsung bergegas menuju outlet.

Gerobak gorengan yang ditutup sementara waktu mulai kubuka kembali. Ternyata sembari tadi sudah ada pembeli yang sedang duduk dikursi samping wajan penggorengan. Seorang laki-laki berambut klimis dan membawa tas slempang berwarna hitam. Sepertinya tidak asing dengan orang ini.

"Mau pesen apa mas"? Tanyaku sambil menatap wajah laki-laki itu dengan sedikit memicingkan mata. Maklum karena minimnya penerangan di outlet gorengan ini.

Saat ku perhatikan wajah orang itu dengan seksama ternyata memang benar aku mengenal orang ini.

"Walah Permadi, lagi ngapain disini" . . .


-Bersambung

0 Response to "Perjalanan Pena 10 - Gerobak Gorengan"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel